Senin, 04 Maret 2013


Tiga Penyihir Konyol

Di dalam hutan belantara hiduplah  tiga orang penyihir sakti. Suatu hari mereka  melakukan perjalanan  panjang dengan  mengendarai  sapu sihir. Saat terbang melintasi awan yang diselimuti  oleh kabut putih, mereka  melihat  pepohonan, gunung, perbukitan, sungai  dan laut  yang membentang luas dan sangat indah. Tiga penyihir sakti  itu adalah Albus, Paus  dan Mampus.

Tengah melintasi pergunungan tiba-tiba si Mampus  merintih kesakitan.

“Hey! Mampus, ada apa denganmu?” tanya si  Albus  dengan  cemas melihat temannya merintih kesakitan.

Dengan wajah merah sambil memegang  perut, Mampus menjawab “ aduh! Perutku sakit sekali, aku ingin buang air, apakah di sini ada toilet?”. Tanya Mampus pada dua temannya.

“Mana ada toilet di angkasa begini !” kata Paus dengan bingung.

“Aku  tidak tahan lagi, perutku sangat sakit!” kata si Mampus.

“Tenanglah  kawan, aku tahu caranya,” kata Albus pada si Mampus. Albus mengarahkan tongkat sihir sambil mengucapkan mantra: “Torabica Moca !”  lalu muncullah sebuah kamar kecil. Mampus masuk ke dalam dan tiba-tiba  keluar kembali sambil memegang pipinya yang memar  dengan wajah yang kusut manyut.

”Kenapa kamu cepat keluar Mampus? Bukankah perutmu sangat sakit?” tanya Albus dengan heran.

Sambil menahan sakitnya, Mampus menjawab,”Kamu salah Albus! Kenapa kamu berikan toilet wanita? Saat aku masuk  mereka  jadi marah dan menampar pipiku,”.

Albus dan Paus  tertawa geli melihat nasib sial yang menimpa si Mampus.

Kini giliran Paus  yang membantu dengan mengucapkan mantra: “ Sakurata !  muncullah sebuah kamar kecil yang indah,  kali ini benaran toilet pria. Dengan cepat Mampus masuk ke dalam wc itu, tapi tak sampai beberapa menit  ia segera keluar kembali  dan masih memegang perutnya.

“Apa yang terjadi, Mampus?” tanya Paus  heran.

“Gimana aku bisa buang air!!  Toiletnya mampet !”. Mampus kesal sambil memegang perut yang sakit.

Kini Mampus berusaha mencoba sendiri  mengucapkan mantra sambil menahan sakit perut. Cepat-cepat  Mampus  masuk ke dalam kamar kecil itu. Kali ini Mampus agak lama di dalam, setelah beberapa saat Mampus belum juga keluar. Albus dan Paus  lelah menunggu, hingga  keluarlah ia dari dalam.

“Kenapa kamu lama di dalam?” tanya Albus pada si Mampus.

“Aku lama karena orang di dalam ramai dan harus menunggu antrian,” jawab mampus.

Tiba-tiba Paus berbisik dengan Albus,“Hey Albus!  apa kamu mencium sesuatu ?”

“Ya, seperti ada bau busuk yang  menyengat dihidungku,” jawab Albus

Mampus  yang dari tadi mendengar  kedua temannya berbisik  langsung berkata,” Maaf teman, tadi aku tidak sempat cuci pantat karena di desak antrian lain,” kata Mampus dengan malu-malu.

“Baunya sangat jelek, kamu makan jengkol ya?” tanya Paus.

“Ya, tadi aku sarapan jengkol,” kata Mampus.

Terpingkal-pingkal  Albus dan Paus tertawa karena ulah si Mampus yang konyol.

Melihat Albus dan Paus tertawa si Mampus pun ikut terbahak-bahak. Akhirnya mereka semua tertawa dan tak sadar ada angin kencang datang ,  sampai mereka lari melintang pukang. Karena angin sangat kencang , celana Mereka terlepas dan sangkut di atas pohon jengkol. Dan jadilah mereka sekarang  tiga penyihir yang terbang tanpa celana.

 

 

 

 

 

 

Sebuah Kejujuran

Suatu hari, saat seorang kakek penebang kayu tengah menebang pohon di tepi sungai, tak sengaja kapak yang ia punya terjatuh ke sungai. Karena kapak itu satu-satunya yang dia punya. Dia menangis dan berdoa, hingga muncullah Malaikat.

“Mengapa engkau menangis hai pak tua?” tanya malaikat itu.

Sambil tersedu-sedu si kakek bercerita tentang satu-satunya kapak  yang dimiliki telah terjatuh didalam sungai. “ Pak Malaikat, kapak itu alat pencari nafkah satu-satunya yang saya miliki”. Malaikat itu lalu menghilang, dan seketika muncul kembali dengan membawa kapak emas.

“Apakah ini kapakmu?” tanya malaikat sambil melihatkan kapak emas pada kakek itu.

“Bukan,” jawab kakek itu.

Lalu Malaikat menghilang lagi dan muncul kembali dengan membawa kapak perak. “Apakah ini kapakmu?” tanya Malaikat.

“Bukan,” sahut kakek itu sambil menggelengkan kepala.

Usai mendengar jawaban itu, Malaikat menghilang lagi dan muncul kembali sambil membawa sebuah kapak yang sangat jelek dengan gagang kayu bermata besi.

“Apakah ini kapakmu?”  tanya Malaikat sambil memperlihatkan kapak itu.

“Ya, benar itu kapak saya,” sahut si kakek senang.

“Kamu adalah orang jujur, maka aku berikan ketiga kapak ini untukmu sebagai imbalan atas kejujuranmu!” ujar malaikat. Lalu kakek itu pulang ke rumah denga rasa syukur penuh suka cita.

Namun, beberapa hari kemudian, ketika menyeberangi sungai, isteri kakek itu terjatuh dan hanyut ke dalam sungai. Si kakek menangis dengan sedih dan berdoa.  Seketika, muncullah Malaikat yang memberinya tiga kapak tempo hari.

“Mengapa engkau menangis?” tanya malaikat.

“Isteriku satu-satunya yang amat kucintai terjatuh dan hanyut ke dalam sungai,” sahut kakek.

Lalu Malaikat menghilang, dan muncul kembali sambil membawa Luna Maya. “Apakah ini isterimu?” tanya Malaikat.

“Ya..” jawab si kakek.

Mendengar jawaban itu, Malaikat marah dan kecewa. “Kamu bohong! Kemana perginya kejujuranmu?” kata Malaikat.

Dalam ketakutan kakek itu berkata, “ jika aku tadi menjawab Luna Maya bukan isteriku, engkau pasti kembali lagi membawa Cut tari. Lalu, jika kujawab bahwa Cut Tari bukan isteriku, engkau akan kembali dengan membawa isteriku yang sebenarnya, dan aku akan menjawab benar bahwa itu isteriku. Aku takut, jika aku jujur maka engkau akan memberikan ketiganya untuk menjadi isteriku. Hamba ini sudah tua renta dan tidak punya tenaga yang kuat. Tidak mungkin bisa mampu seperti  ARIEL . Please dechhhh.........hamba mana kuat,” kata kakek itu.

Sementara Malaikat hanya diam......